Dalam memperlajari mushthalah hadits atau dalam
menentukan derajad (ke-sahih-an) suatu hadits akan selalu terkait dalam 3 hal
pokok yaitu : Rawi, Sanad dan Matan
Unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah hadits :
a. Rawi
Rawi adalah orang yang menyampaikan hadits, contoh
dalam hadits : Warta dari ummul Mukminin Aisyah ra, ujarnya : “Rasulullah telah
bersabda : ‘barang siapa yang mengada-adakan sesuatu yang bukan termasuk urusan
(agamaku), maka ia tertolak’.” (Hadits Riwayat Bukhary – Muslim) dalam hadits
diatas Aiysah ra adalah rawi pertama dan Imam Bukhary dan Imam Muslim adalah
rawi terakhir. Antara rawi pertama dan rawi terakhir tentunya ada beberapa rawi
lagi yang biasanya tidak disebutkan untuk mempersingkat penulisan.
b. Matan
Matan adalah materi atau isi dari hadits.
Dalam meriwayatkan atau mentransmisikan materi (isi)
hadits ada dua jalan, yang keduanya tidak dilarang oleh Rasulullah saw, yaitu :
1.
Dengan lafad yang sama persis dari Rasulullah.
2.
Dengan maknanya saja, sedang redaksinya disusun sendiri oleh orang yang
meriwayatkannya.
c. Sanad
Sanad adalah
jalan atau jalur transmisi yang menghubungkan materi hadits (matan) kepada
Rasulullah saw. Misalnya seperti kata Imam Bukhary :“Telah mewartakan
kepadaku Muhammad Bin al-Mutsanna, ujarnya : ‘Abdul Wahhab ats-tsaqafy telah
mengabarkan kepadaku, ujarnya : Telah bercerita kepadaku Ayyub atas pemberitaan
Abi Qilabah dari Anas dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda : ‘Tiga perkara,
yang barang siapa mengamalkannya niscaya memperoleh kelezatan iman, yakni : 1.
Allah dan Rasul-NYA hendaknya lebih dicintai daripada selainnya. 2.
Kecintaannya kepada seseorang, tak lain karena Allah semata-mata dan 3.
Keengganannya kembali kepada kekufuran, seperti keengganannya dicampakkan ke
neraka’.” Dalam hal ini materi hadits diterima oleh Imam Bukhary dari sanad
pertama Muhammad Bin al-Mutsanna, terus bersambung sampai dari sanad terakhir
yaitu sahabat Anas ra. Dengan demikian Imam Bukhary menjadi sanad pertama
bagi kita dan sebagai rawi terakhir pada hadits tersebut diatas. Dalam ilmu
hadits sanad ini merupakan neraca untuk menimbang sahih atau tidaknya suatu
hadits. Andaikata salah satu rawi dalam jalur transmisi (sanad) itu ada yang
fasik atau tertuduh dusta maka hadits tersebut menjadi dhaif (lemah).
5.1. Pembagian Derajad / Jenis Hadits
Pembagian hadits ahad berdasarkan derajad ke sahihan :
a. Sahih
b. Hasan
c. Dhoif
A. Hadits Sahih
Hadits sahih
adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung-sambung, tidak ber ‘illat dan tidak janggal (syadz)
Jadi suatu hadits dapat dikatakan sahih apabila memenuhi
lima persyaratan :
1. Semua rawinya adil.
2. Semua rawinya sempurna ingatan (dlabith)
3. Sanadnya bersambung-sambung tidak putus
4. Tidak ber ‘iilat
(cacat tersembunyi)
5. Tidak janggal (Syadz)
Keadilan Rawi
Keadilan seorang rawi menurut Ibnu Sam’any harus
memenuhi empat syarat :
1. Selalu memelihara
perbuatan taat dan menjauhi maksiat.
2. Menjauhi dosa-dosa
kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
3. Tidak melakukan
perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman kepada qadar dan
mengakibatan penyesalan.
4. Tidak mengikuti
pendapat salah satu sekte yang bertentangan dengan syara’.
Sebab-sebab yang menggugurkan keadilan seorang rawi :
1. Diketahui dusta.
2. Tertuduh dusta.
3. Fasik.
4. Tidak dikenal
(jahalah)
5. Penganut sekte bid’ah
yang terang terangan dan bersangatan membela paham bid’ahnya.
Ulama-ulama
hadits menerima periwayatan tokoh-tokoh syiah yang dikenal benar dan
kepercayaan. Perawi yang tidak langsung ditolak periwayatannya :
a. Orang yang
diperselisihkan tentang cacatnya dan tentang keadilannya.
b. Orang yang banyak
kesilapan dan menyalahi imam-imam yang kenamaan/kepercayaan.
c. Orang yang
banyak lupa.
d. Orang yanng rusak
akal (pikun) di masa tuanya.
e. Orang yang
tidak baik hafalannya.
f. Orang
yang menerima hadits dari sembarang orang saja, baik dari orang kepercayaan
maupun yang tidak kepercayaan.
Kalau ada
pertanyaan : ‘Bagaimana mengetahui keadilan seorang rawi ?’. Jawabannya adalah
dengan mempelajari ilmu Jarh wat Ta’dil, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang
memberikan kritikan adanya aib atau memberikan penilaian adil kepada seorang
rawi. Menurut Dr. ‘Ajjaj Al-Khatib Ilmu Jarh wat Ta’dil adalah suatu ilmu yang
membahas hal-ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah
satu dari tiga kaidah berikut :
1. Semua sahabat nabi
adalah adil, baik yang terlibat dalam masa pertikain dan peperangan antar sesama
kaum muslimin ataupun yang tidak terlibat. Sahabat nabi adalah semua orang yang
pernah bertemu Nabi Muhammad saw dengan pertemuan yang wajar sewaktu Rasulullah
saw masih hidup dan dalam keadaan Islam lagi beriman.
2. Dengan kepopulerannya
dikalangan ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil, seperti Anas
Bin Malik, Sufyan Ats Tsaury, Syub’ah bin Al Hajjaj, Asy Syafi’i, Ahmad Bin
Hanbal, dsb.
3. Dengan pujian dari
seseorang yang adil, yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh seorang yang
adil, yang semula rawi itu belum dikenal atau belum populer sebagai rawi yang
adil.
Penetapan tentang kecacatan (tidak adil) juga dapat
ditentukan dengan kepopulerannya sebagai orang yang mempunyai cacat sifat
adilnya atau berdasarkan pentarjihan dari seseorang yang adil.
Men-ta’dil-kan
atau men-tajrih-kan seorang rawi itu ada kalanya tidak disebutkan
sebab-sebabnya (mubham) dan adakalanya disebutkan sebab-sebabnya (mufassar).
Untuk yang tidak disebutkan sebab-sebabnya (mubham) diperselisihkan oleh para
ulama tentang diterima atau tidaknya, tapi jumhur ulama menetapkan bahwa
men-ta’dil-kan tanpa menyebut sebab-sebabnya diterima, karena sebab-sebab itu
banyak sekali, sehingga hal itu kalau disebutkan semua tentu mubadzir. Adapun
men-tajrih-kan, tidak diterima, kalau tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, karena
jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja.
Tentang jumlah orang yang dipandang cukup untuk
men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi masih diperselisihkan apakah minimal dua
orang atau cukup satu orang saja.
Bila terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil pada
seorang rawi, yakni sebagian ulama men-ta’dil-kan dan sebagian ulama
men-tajrih-kan, maka masih diperselisihkan tapi jumhur ulama berpendapat Jarh
harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah yang men-ta’dil-kan lebih
banyak daripada yang men-jarh-kan. Sebab bagi orang yang men-jarh-kan tentu
mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh orang yang men-ta’dil-kan,
dan kalau orang yang men-jahr-kan dapat membenarkan orang yang men-ta’dil-kan
tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedang orang yang
men-jahr-kan memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh orang yang
men-ta’dil-kan.
Perlu diperhatikan juga penilaian jahr oleh beberapa
Muhaditsin yang terkenal keterlaluan dan berlebihan dalam men tajrih seorang
rawi, yaitu Abu Hatim, An Nasa’iy, Yahya Bin Ma’in, Yahya Bin Khaththan dan
Ibnu Hibban.
Kitab-kitab yang membahas jahr dan ta’dil rawi-rawi
hadits yang terkenal diantaranya :
-
Ad-Dlu’afa’ karya Imam Bukhary.
-
Lisanu’l Mizan karya Al-hafidz Ibnu Hajar Asqolany.
Kesempurnaan ingatan Rawi
Yang dimaksud
sempurna ingatan (dlabith) adalah orang yang kuat ingatannya, artinya
ingatannya lebih banyak daripada lupanya, dan kebenarannya lebih banyak
daripada kesalahannya. Kalau seseorang sampai mempunyai ingatan (hafalan) yang
kuat, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan
ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan saja dan dimana saja dikehendaki orang
tersebut disebut dlabith’ush-shadri. Kalau berdasarkan buku catatan disebut
dlabithu’l kitab.
Cacat-cacat yang merusakkan ke sahihan hadits :
a. Terlalu lengah dalam penerimaan hadits.
b. Banyak salah dalam meriwayatkan hadits.
c. Menyalahi orang-orang kepercayaan (syadz).
d. Banyak berperasangka.
e. Tidak baik hafalannya.
Sanad bersambung-sambung tidak putus
Yang dimaksud
sanadnya bersambung-sambung tidak putus yaitu sanad yang selamat dari
keguguran. Dengan kata lain, bahwa tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan
menerima langsung dari guru yang memberikannya. Untuk mengetahui apakah sanad
hadits itu bersambungan tidak putus atau tidak perlu mempelajari dua macam ilmu
yaitu : Ilmu Rijalil Hadits, ilmu Thabaqoh Ruwah dan Ilmu Tawarihi Ruwah. Ilmu
Rijalil Hadits adalah ilmu pengetahuan yang membahas hal-ihwal dan sejarah
kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabiin dan tabiit-tabiin.
Ilmu Thabaqoh
Ruwah adalah ilmu yang membahas pengelompokan sahabat nabi dalam kelompok
(thabaqoh) yang tertentu. Thabaqoh pertama : sahabat yang pertama masuk Islam,
thabaqoh kedua : sahabat yang masuk Islam sebelum musyawarah orang musyrik
Mekkah di Darun Nadwah yang berencana membunuh Nabi Muhammad saw, thabaqoh
ketiga : sahabat yang hijrah ke habsy, thabaqoh keempat : sahabat peserta
bai’at aqabah pertama, thabaqot kelima : sahabat yang menghadiri bai’at aqobah
kedua, thabaqoh keenam : Muhajirin yang menyusul Nabi di Quba sebelum memasuki
Madinah, thabaqoh ketujuh : sahabat peserta perang Badar, thabaqot kedelapan :
sahabat yang hijrah ke Madinah setelah perang Badar, tahbaqot kesembilan :
sahabat yang menghadiri bai’at baitur ridwan, thabaqot kesepuluh : sahabat yang
hijrah setelah perjanjian Hudaibiyah sebelum futuh Mekkah, thabaqot kesebelas :
sahabat yang masuk Islam setelah futuh Mekkah, thabaqot kedua belas : anak-anak
yang melihat Nabi Muhammad saw setelah Futuh Mekkah dan haji wada’. Kitab
terbaik yang membahas sejarah, hal-ihwal dan thabaqot sahabat adalah kitab
“Al-Isabah” karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Asqolany.
Ilmu Tawarihi
Ruwah adalah ilmu untuk mengetahui para rawi hal-hal yang bersangkutan dengan
meriwayatkan hadits, mencakup keterangan tentang hal-ihwal para rawi, tanggal
lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, kapan tanggal mendengar dari gurunya,
orang-orang yang berguru kepadanya, kota dan kampung halamannya, perantauannya,
tanggal kunjungannya ke negeri yang berbeda-beda, mendengarnya hadits dari
sebagian guru, sebelum dan sesudah ia lanjut usia dan sebagainya yang ada
hubungannya dengan masalah per haditsan. Kitab-kitab ilmu Tawarihi Ruwah
yang tekenal diantaranya :
- At-Tarikh’ul-Khabir karya Imam Bukhary. Berisi
biografi 40.000 perawi hadits.
- Tarikh Nishabur karya Imam Muhammad Bin Abdullah
Al-Hakim An-Nishabury. Kitab ini merupakan kitab tarikh terbesar yang banyak
faedahnya.
- Tarikh Baghdad karya Imam Al-Khatib Al-Baghdady.
Kitab ini memuat biografi ulama-ulama sebanyak 7.831 orang.
‘Illat hadits adalah cacat
tersembunyi yang dapat menodai kesahihan suatu hadits, yaitu :
a. Hadits bersambung (hadits muttashil) yang gugur
(tidak disebutkan) sahabat yang meriwayatkannya. Hadits seperti ini disebut
hadits mursal.
b. Hadits bersambung (hadits muttashil) yang gugur
salah seorang rawinya. Hadits seperti ini disebut hadits munqathi’.
c. Adanya sisipan yang terdapat pada matan
hadits.
Kejanggalan Hadits
Kejanggalan
hadits terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang maqbul (dapat diterima) dengan hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang lebih rajih (kuat), disebabkan adanya kelebihan jumlah sanad atau
kelebihan dalam ke-dlabith-an rawinya atau adanya segi-segi tarjih yang lain.
Klasifikasi Hadits Sahih :
Hadits sahih dibagi menjadi dua bagian : sahih
li-dzatih dan sahih li-ghairih.
Sahih li-dzatih adalah hadits
sahih yang memenuhi syarat-syarat hadits sahih diatas.
Sahih li-ghairih adalah hadits
sahih yang diantara perawinya ada yang kurang dlabith, tetapi mempunyai sanad
lain yang lebih dlabith.
B. Hadits Hasan
Hadits hasan
adalah hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, (tapi) tak begitu kokoh
ingatannya (kurang dlabith), bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat
‘illat serta kejanggalan pada matannya. Klasifikasi hadits hasan : hasan
lidzatih dan hasan li-ghairih.
Hadits hasan li-dzatih adalah hadits hasan yang memenuhi syarat hadits hasan diatas.
Hadits hasan li-ghairih adalah hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang tidak nyata
keahliannya, bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang
menjadikannya fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan
yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Hadits hasan
derajadnya dibawah hadits sahih. Menurut Imam Turmudzi dan Ibnu Taimiyah hadits
hasan adalah hadits yang banyak jalan datangnya dan tidak ada dalam sanadnya
yang tertuduh dusta dan tidak pula janggal (syadz). Dibawah hadits hasan ada
yang lebih rendah derajadnya yaitu hadits dhaif. Menurut Imam Nawawi : “Hadits
dhaif yang banyak jalan dan saling menguatkan bisa naik menjadi hadits hasan”.
Yaitu hasan li-ghairih, tapi ke dhaifannya bukan karena ada rawi yang tertuduh
dusta atau fasiq. Maka dengan demikian dapat diamalkan berdasarkan kumpulannya,
bukan berdasarkan kepada satu per satunya.
C. Hadits Dhaif
Hadits dhaif
adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits
sahih atau hadits hasan. Berdasarkan dapat diterima atau ditolak sebagai hujjah
hadits diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
a. Hadits Maqbul :
yaitu hadits yang dapat diterima
b. Hadits Mardud : yaitu
hadits yang ditolak dan tidak dapat diterima.
Hadits sahih dan hasan adalah hadits yang maqbul.
Yang termasuk hadits mardud (ditolak) adalah segala
macam hadits dhaif
Klasifikasi hadits dhaif :
a. Dari jurusan sanad, dibagi dua
Pertama:Cacat pada rawi, tentang keadilan dan
kedlabitannya.
Cacat pada keadilan dan ke dlabitan rawi ada 10 macam
:
1. Dusta, hadits dhaif
yang karena rawinya dusta, disebut Hadits maudlu’
2. Tertuduh dusta,
hadits dhaif yang rawinya tertuduh dusta disebut hadits matruk.
3. Fasik, yaitu pelaku
dosa besar, atau melakukan dosa kecil dengan terang-terangan dan sering.
4. Banyak salah, yaitu
dalam meriwayatkan haditsnya.
5. Lengah dalam hafalan,
hadits dhaif yang karena rawinya fasik, banyak salah dan lengah disebut hadits
munkar.
6. Banyak purbasangka
(waham), hadits dhaif yang karena rawinya waham disebut hadits mu’allal.
7. Menyalahi riwayat
orang kepercayaan;
-
Dengan penambahan suatu sisipan, disebut hadits mudraj.
-
Dengan memutarbalikkan, disebut hadits maqlub.
-
Dengan menukar-nukar rawi, disebut hadits mudltharib.
-
Dengan perubahan syakal huruf, disebut hadits muharraf.
-
Dengan perubahan titik-titik kata, disebut hadits mushahhaf.
8. Tidak diketahui
identitasnya (jahalah), disebut hadits mubham.
9. Penganut bid’ah
(sekte sempalan), hadits dhaif yang rawinya penganut bid’ah disebut hadits
mardud.
10. Tidak baik hafalannya, disebut hadits syadz
dan mukhtalith.
Kedua :Sanadnya tidak bersambung, karena ada
rawi yang digugurkan atau tidak bertemu satu sama lain.
Cacat karena sanadnya ada yang gugur :
1. Yang digugurkan sanad
pertama, disebut hadits mu’allaq.
2. Yang digugurkan sanad
terakhir (sahabat), disebut hadits mursal.
3. Yang digugurkan dua
orang rawi atau lebih berturut-turut, disebut hadits mu’dlal.
4. Yang digugurkan tidak
berturut-turut, disebut hadits munqathi.
b. Dari jurusan matan,
dibagi dua :
1. Hadits mauquf, yaitu
hadits yang disandarkan hanya sampai kepada perkataan sahabat tidak sampai
kepada Nabi, misalnya “Berkata Umar …..”
2. Hadits maqthu’, yaitu
hadits yang disandarkan hanya sampai kepada perkataan tabi’in, misalnya,
“Berkata Said Ibn Musayyab ….. “
Pembagian hadits berdarkan banyaknya jalur periwayatan
(sanad)
a. Hadits
Mutawatir
b. Hadsis Masyhur
c. Hadits Ahad
- hadits azis
- hadits gharib
Hadits
Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak mungkin
bahwa mereka itu telah sepakat untuk berdusta. Syarat hadits mutawatir :
1. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan pendengaran
atau penglihatan sendiri, bukan dari hasil pemikiran, rangkuman atau dugaan.
2. Jumlah rawi-rawinya harus mencapai bilangan yang
mampu mencapai ilmu’dl-dlarury (meyakinkan).
3. Ada keseimbangan antara rawi-rawi dalam lapisan
pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Misalnya ada hadits
yang diriwayatkan oleh 10 orang sahabat kemudian diriwayatkan oleh 5 orang
tabiin dan seterusnya diriwayatkan oleh 3 orang tabi’it-tabi’in maka hadits
tersebut tidak termasuk hadits mutawatir, karena jumlah rawi-rawinya tidak
seimbang antara lapisan pertama dengan lapisan kedua dan ketiga.
Kitab yang
menghimpun segala hadits mutawatir yang terkenal adalah kitab Al-Azharu’l
Mutanatsirah fi’l Akhbari Mutawatirah, karya Imam As Suyuthi (911 H). Hadits
mutawatir memberi faedah ilmu-dlarury, yakni meyakinkan dan harus menerimanya
bulat-bulat sesuatu yang diberitakan oleh hadits mutawatir karena membawa
kepada keyakinan yang qoth’i (pasti). Rawi-rawi hadits mutawatir tidak perlu
lagi diselidiki tentang keadilan dan kedlabithannya.
Hadits Masyhur
adalah hadits yang terdiri lapisan perawi yang pertama atau lapisan kedua, dari
orang seorang, atau beberapa orang saja. Sesudah itu barulah tersebar luas,
dinukilkan oleh segolongan orang yang tak dapat disangka bahwa mereka sepakat
untuk berdusta. Jumhur ulama hadits mensyaratkan minimal 3 orang perawi.
Ulama-ulama mazhab hanafi men-takhsis-kan (meng khusus
kan) ayat Al-Qur’an yang umum dengan hadits masyhur ini dan menambah
hukum-hukum yang belum terdapat dalam Al-Qur’an. Hadits ahad yang belum
mencapai derajad hadits masyhur tidak dapat digunakan untuk fungsi ini.
Imam Malik menjadikan hadits ahad pen takh sis
Al-Qur’an dengan syarat jika dikuatkan oleh amal penduduk Madinah atau oleh
Qiyas.
Imam Syafii dan Imam Ahmad Bin Hanbal menggunakan
hadits ahad untuk mentakhsis ayat Al-Qur’an.
Hadits Ahad adalah segala hadits yang diriwayatkan
oleh orang seorang atau dua orang atau lebih tetapi tidak cukup terdapat
sebab-sebab yang menjadikannya masyhur.
Hadits Azis adalah hadits yang rentetan perawinya
terdiri dari dua-dua orang atau pada suatu tingkat terdiri dari dua-dua orang
saja.
Hadits Garib adalah hadits yang dalam sanadnya ada
seorang rawi yang menyendiri, di lapisan mana saja penyendirian dalam sanad itu
terjadi.
Berkata Imam Ahmad Bin Hanbal : “Jangan kamu mencatat
hadits hadits gharib, lantaran hadits-hadits gharib itu mungkar-mungkar dan
pada umumnya berasal dari orang-orang lemah”.
Pembagian Hadits yang bersambung sanadnya :
a. Hadits Musnad, yaitu tiap-tiap
hadits marfu’ yang sanadnya bersambung
b. Hadits Muttashil/Maushul,
yaitu hadits yang bersambung sanadnya, ada yang marfu’, mauquf atau maqthu’
5.2. Berhujah dengan
hadits / Mengamalkan Hadits
A. Hadits Mutawatir
Mutlak harus diterima bulat-bulat, karena memberikan
keyakinan secara ilmul-dlarury.
B. Hadits Masyhur
Mutlak dapat dipakai hujjah atau diamalkan, dapat
dijadikan pen-takhsish (meng khususkan) ayat Al-Qur’an yang umum (‘Am)
C. Hadits Ahad
Apabila sahih mempunyai sifat dapat diterima yang
tinngi, apabila hasan mempunyai sifat dapat diterima yang menengah /
rendah, dapat diamalkan dalam urusan-urusan amal bukan dalam urusan i’tiqad.
Imam Abu Hanifah menolak hadits ahad untuk men takhsis
dan menasakh ayat Al-Qur’an.
Imam Malik menjadikan hadits ahad untuk men takhsish
dan menasakh Al-Qur’an jika dikuatkan oleh amalan penduduk Madinah atau oleh
qiyas.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Bin Hanbal menjadikan
semua hadits ahad untuk men takhsish Al-Qur’an.
D. Hadits Dha’if
Dalam hal berhujah dengan / mengamalkan hadits dha’if,
terbagi dalam 3 pendapat :
a. Melarang secara
mutlak , itu pendapat Imam Bukhary dan Abu Bakar Ibnu Araby.
b. Membolehkan, yaitu
bila dha’ifnya tidak terlalu dan khusus untuk menerangkan fadlilah amal, yang
isinya mendorong berbuat baik, mencegah perbuatan buruk, cerita-cerita dan
perkara-perkara mubah. Bukan untuk menetapkan masalah hukum-hukum syariat
seperti halal-haram, akidah. Pendapat ini dianut oleh Imam Ahmad Bin Hanbal,
Abdurrahman Bin Mahdy, Abdullah Ibn Mubarak, mereka berkata :
“Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram
dan hukum-hukum, kami perkeras sanad-sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya.
Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa, kami
permudah sanadnya dan kami perlunak rawi-rawinya”
Al Hafidz Ibnu Hajar Asqolany membolehkan berhujah
dengan hadits dha’if untuk keutamaan amal, dengan memberikan 3 syarat :
1. Hadits Dha’if yang
tidak terlalu. Dha’if yang karena rawinya pendusta, tertuduh dusta dan banyak
salah tidak dapat dijadikan hujjah.
2. Dasar amal yang
ditunjuk oleh hadits tersebut masih selaras dengan dasar yang dibenarkan oleh
hadits yang lebih sahih.
3. Dalam mengamalkannya
tidak meng ‘itiqadkan bahwa hadits tersebut benar benar dari Nabi, tetapi
tujuannya mengamalkan hanya semata-mata untuk ikhtiyat (hati-hati).
E. Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang gugur perawi pada
tingkatan sahabat. Jadi perawi tabi’in tidak menyebutkan nama sahabat yang
meriwayatkan hadits kepadanya.
Bila perawi yang gugur (tidak disebutkan) sebelum
sahabat , baik tabi’in atau selainnya, bila satu orang yang gugur dinamakan
hadits munqathi’, bila dua orang yang gugur disebut hadits mu’dlal.
Berhujah dengan hadits Mursal, terdapat perbedaan
pendapat, sebagian menolak dan menganggapnya sebagai hadits dha’if, sebagian
menerima dan menganggapnya sebagai hadits musnad, tetapi jumhur ulama hadits
menerima hadits mursal tapi dengan syarat;
Imam Abu Hanifah menerima hadits mursal, bila yang
meng irsal kan itu sahabat atau tabi’in. Irsal yang sesudah tabi’it-tabi’in
ditolak.
Imam Malik menerima segala hadits mursal dari orang
yang kepercayaan (tsiqoh).
Imam Syafi’ii hanya menerima hadits mursal dari
periwayatan Said Bin Musayyab dan Hasan Al Basri.
Imam Ahmad Bin Hanbal lebih mengutamakan fatwa sahabat
dari pada menerima hadits mursal.
5.3. Bagan Jenis / Derajad Hadits
5.4. Pertentangan Hadits
A. Pertentangan Hadits dengan
Al-Qur’an
Sebagian ulama
menolak hadits yang bertentangan dengan Al-Qur’an : Ada sebuah atsar
menyebutkan : “Abu Bakar Shiddiq ra. mengumpulkan para sahabat dan menyuruh
mereka menolak hadits yang berlawanan dengan Al-Qur’an”. Umar Bin Khattab ra.
pernah menolak hadits riwayat Fatimah Binty Qeys yang menerangkan, bahwa istri
yang ditalaq habis, tidak berhak diberikan nafkah dan tempat lagi, karena
bertentangan dengan ayat Ath Thalaq dalam Al-Qur’an, dan Umar ra berkata :
“tidaklah saya mau meninggalkan kitabullah lantaran perkataan seorang wanita
yang boleh jadi benar boleh jadi salah”. Diriwayatkan oleh Imam Bukhory,
Muslim, Turmudzy dan An Nasay dari Masruq, ujarnya : “Aku berkata kepada
‘Aisyah Ummul Mukminin, apakah Muhammad ada melihat tuhannya ? ‘Aisyah menjawab
: ‘Bangun bulu romaku mendengar perkataanmu, dimana engkau dari tiga perkara,
barang siapa menceritakan yang tiga itu pasti berdusta :
a. Barang siapa menceritakan bahwa Muhammad melihat
tuhannya, adalah dusta, karena firman Allah : “Tiada dapat dilihat Dia oleh
segala pandangan dan Dia melihat segala pandangan, dan Dia itu Maha lembut lagi
Maha mengetahui” (QS Al An’am : 103).
b. Barang siapa menceritakan, bahwa dia mengetahui apa
yang terjadi esok hari, berdusta, Allah berfirman “Tak ada yang seorangpun
dapat mengetahui apa yang ia kerjakan esok hari” (QS Lukman: 31)
c. Barang siapa menceritakan, bahwa Muhammad ada
menyembunyikan sesuatu wahyu, maka ia berdusta, karena Allah berfirman : “Wahai
Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan pada engkau dari Tuhan engkau, Jika
engkau tidak menyampaikan berarti engkan tidak menyampaikan risalah Allah, dan
Allah memelihara engkau dari manusia bahwasanya Allah tidak menunjuki kaum yang
kafir “ (QS Al Maidah : 67).
B. Pertentangan antar hadits.
Ulama yang
pertama kali membahas tentang hadits yang saling bertentangan adalah Imam
Syafi’i dalam kitabnya “mukhtaliful hadits”. Apabila kita mendapati dua buah
hadits makbul yang saling bertentangan (menurut lahirnya), maka: Diusahakan
untuk mengumpulkannya (mengkompromikan). Kalau usaha ini gagal, hendaklah
dicari mana diantara hadits yang datang lebih dahulu dan mana yang datang
kemudian. Hadits yang datang lebih dahulu hendaklah dinasakh, disebut hadits
mansukh dan yang menasakhnya disebut hadits nasikh.
Untuk
mengetahui mana hadits yang nasikh dan mana hadits mansukh nya, dapat diketahui
dari beberapa jalan, antara lain :
a. Penjelasan dari syar’i sendiri,
contoh : “Konon aku pernah melarangmu menziarahi kubur. Kemudian ziarahlah. Dan
konon aku pernah melarangmakandaging binatang kurban selama lebih tiga hari,
kemudian makanlah sesukamu” (HR Muslim).
b. Penjelasan dari Sahabat Jabir
berkata : “yang terakhir dari dua kejadian yang berasal dari Rasulullah saw
ialah meninggalkan wudlu’ bekas tersentuh api”.
c. Diketahui tarikh keluarnya
hadits: Hadits riwayat Syaddad : “Batallah puasa orang yang membekam dan orang
yang dibekam” (HR Abu Dawud). Menurut Imam Syafi’ii telah di nasakh oleh hadits
Ibnu ‘Abbas ra : “Bahwa Rasulullah saw sedang berbekam, padahal beliau sedang
ihram dan berpuasa”.(HR Muslim). Disebabkan hadits Syaddad tersebut disabdakan
oleh Nabi pada tahun 8 H, yakni saat-saat dikuasainya kembali kota Mekkah,
sedang hadits Ibnu ‘Abbas disabdakan pada tahun 10 H, yakni pada haji Wada’.
Imam Syarajuddin Al-bulqiny menyusun ilmu cabang dari ilmu hadits mengenai awal
atau akhirnya dikeluarkan suatu matan hadits dalam kitab yang diberi nama
“Mahasinu’l-ishthilah”. Kalau usaha mencari nasikhnya tidak pula berhasil,
beralih kepada penelitian mana hadits yang lebih kuat, baik sanad maupun
matannya, untuk ditarjihkan. Hadits yang kuat disebut hadits rajih, sedang yang
ditarjihkan disebut hadits marjuh. Contoh : hadits riwayat Ibnu Abbas ra :
“Bahwa Rasulullah saw menikahi Maimunah Binti Al Harits pada waktu beliau
ihram”. Hadits tersebut ditarjihkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abi
Rafi’ yang mengabarkan : “Bahwa Rasulullah saw menikahi Maimunah Binti Al-Haris
pada waktu beliau tahallul”. Hadits ‘Abi Rafi’ lebih rajih daripada hadits Ibnu
‘Abbas karena Abi Rafi’ sendiri bersama-sama pergi dengan Rasulullah saw dan
Maimunah disaat itu dan kebanyakan sahabat meriwayatkan seperti hadits Abi
Rafi’.
Mentarjihkan hadits itu, dapat ditinjau dari beberapa
jurusan :
1. Jurusan sanad, misalnya :
a. Hadits yang rawinya
banyak, merajikan hadits yang rawinya sedikit.
b. Hadits yang diriwayatkan oleh
rawi besar merajihkan hadits yang diriwayatkan oleh rawi
kecil.
c. Hadits yang
rawinnya tsiqah merajikan hadits yang rawinya kurang tsiqah.
2. Jurusan matan,
misalnya :
a.
Hadits yang mempunyai arti hakikat merajihkan hadits yang mempunyai arti
majazi.
b. Hadits yang mempunyai
petunjuk maksud dari dua segi merajikan hadits yang mempunyai petunjuk maksud
dari satu segi.
3. Jurusan hasil
penunjukan (madlul), misalnya :
Madlul yang
positip merajihkan yang negatip.
4. Jurusan dari luar,
misalnya :
Dalil yang
qauliah (berdasarkan perkataan), merajikan dalil yang fi’liyah (berdasarkan
perbuatan). Kalau usaha inipun gagal, kedua hadits tersebut hendaklah
dibekukan, ditinggalkan untuk pengamalannya. Hadits yang di tawaqquf kan ini
disebut hadits mutawaqqaf-fihi . Hadits yang dibekukan ini menurut sebagian
ulama dapat diamalkan salah satu, dan ada pula yang berpendapat bisa diamalkan
berganti-ganti dalam waktu yang berbeda. Hadits yang mengandung pertentangan
disebut hadits mukhtalif.
5.5. Hadits Maudlu’
(palsu)
Hadits maudlu’
adalah hadits yang diciptakan serta dibuat oleh seseorang (pendusta) yang
diciptakan itu disandarkan kepada Rasulullah saw secara palsu dan dusta, baik
hal itu disengaja maupun tidak. Seorang rawi yang diketahui pernah berdusta
dengan menyandarkan riwayatnya kepada Rasulullah saw walaupun sekali dalam
seumur hidup, riwayatnya tidak dapat diterima, walaupun telah ber taubat
sekalipun.
Ciri Ciri Hadits Palsu :
1. Dari pengakuannya sendiri, seperti pengakuan
seorang guru tashawuf yang berkata : “tidak ada seorangpun yang meriwayatkan
hadits kepadaku. Akan tetapi kami melihat manusia sama meninggalkan Al-Qur’an,
maka kami ciptakan untuk mereka hadits ini (tentang keutamaan ayat Al-Qur’an),
agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Qur’an”.
2. Petunjuk yang memperkuat adanya kedustaan,
misalnya seorang rawi mengaku menerima hadits dari seorang guru, padahal ia
tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau menerima dari seorang guru yang
telah meninggal dunia sebelum ia dilahrikan.
3. Petunjuk dari tingkah lakunya, seperti yang pernah
dilakukan oleh Ghiyat bin Ibrahim dikala berkunjung ke istana Khalifah Al-Mahdi
yang sedang bermain dengan burung merpati, katanya : “Tidak syah perlombaan
selain : mengadu anak panah, mengadu kuda atau mengadu burung”. Perkataan au
janahin (atau mengadu burung) adalah perkataan Ghiyats sendiri, yang spontan ia
tambahkan di akhir hadits yang ia ucapkan, dengan maksud membesarkan hati
Khalifah yang sedang mengadu burung merpati.
4. Dari segi matan, maknanya bertentangan dengan
Al-Qur’an, hadits mutawatir, Ijma’ dan logika sehat
5. Menukil kata mutiara (adagium) orang orang yang
dipandang alim yang kemudian disandarkan itu adalah berasal dari Rasulullah
saw.
Motif-Motif yang Mendorong Membuat Hadits Palsu :
1. Untuk memperkuat partainya, Syiah Rafidah dikenal
paling banyak membuat hadits palsu.
2. Untuk merusak / mengeruhkan agama Islam, seperti
Hasan Bin Saba’ dan orang Persia-Majusi yang benci dan dengki terhadap hegemony
Arab-Islam, tokoh-tokoh zindiq yang ber akidah sesat.
3. Untuk nasihat dan menarik minat hati manusia,
contohnya hadits yang berlebihan dalam menerangkan pahala amal.
4. Fanatik kesukuan, kultus imam, individu, dsb
5. Mempertahankan mazhab fikih ikhtilaf.
6. Mencari muka dihadapan penguasa, contohnya hadits
Ghiyats diatas.
7. Kejahilan dalam ilmu agama disertai kemauan keras
untuk berbuat kebaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar